Beritafifa.com – PSG sedang menulis babak baru yang menarik dalam sejarah klub. Tanpa Kylian Mbappé, tim besutan Luis Enrique justru tampil lebih solid dan fleksibel, membuktikan bahwa mereka tidak bergantung pada satu bintang. Meski banyak yang meragukan kematangan tim muda ini, kenyataannya PSG telah berhasil bertransformasi dari tim yang mengandalkan individualitas menjadi unit kolektif yang tangguh. Dominasi domestik selama satu dekade terakhir mungkin terkesan membosankan, tetapi fondasi yang kuat membuat mereka tetap berada di level elite.
Transformasi PSG dalam waktu singkat patut dikagumi. Mereka kini memiliki kualitas di hampir semua lini, meski masih menyisakan celah seperti ketidakstabilan bek kanan dan kurangnya kreativitas dalam kombinasi serangan. Namun, fleksibilitas taktik dan konsistensi permainan mereka berhasil menjawab keraguan, bahkan saat berhadapan dengan lawan sekelas Arsenal. Luis Enrique berhasil menciptakan keseimbangan antara soliditas defensif dan serangan yang dinamis.
Meski belum sempurna, PSG menunjukkan progres yang menjanjikan. Kepergian Mbappé justru memicu evolusi tim menjadi lebih taktis dan sulit ditebak. Jika mereka mampu memperbaiki sedikit kelemahan yang ada, PSG berpotensi menjadi ancaman serius di panggung Eropa musim ini. Dengan pendekatan baru yang lebih kolektif, mimpi meraih gelar Liga Champions mungkin tidak lagi sekadar ilusi.
Transformasi Gaya Bermain PSG
PSG: Dominasi Baru di Liga Champions dengan Identitas yang Berubah
Perjalanan PSG di fase gugur Liga Champions musim ini menunjukkan bentuk dominasi yang berbeda dari era “MNM” (Mbappé, Neymar, Messi). Jika dulu mereka bergantung pada bakat individu dengan sedikit intensitas tanpa bola, kini Luis Enrique membangun tim yang agresif dalam pressing. Statistik membuktikan PSG sebagai salah satu tim dengan high regains (perebutan bola di area lawan) tertinggi hingga semifinal. Saat menghadapi Arsenal di Emirates, tekanan tinggi mereka memaksa The Gunners kesulitan membangun serangan dari belakang—bahkan kombinasi umpan terbanyak hanya terjadi antara bek tengah dan kiper David Raya.
Namun, bukan sekadar tim yang mengandalkan pressing. Mereka juga menunjukkan kematangan dalam penguasaan bola, seperti saat menaklukkan Liverpool di Anfield. Di laga itu, Vitinha dan João Neves tampil sebagai otak permainan dengan distribusi akurat dan kontrol tempo ala gelandang kelas dunia. Berbeda dengan gelandang PSG di masa lalu yang cenderung mengandalkan fisik atau umpan-umpan vertikal, duo ini memberi stabilitas sekaligus kreativitas.
Transformasi PSG dari tim bintang individual menjadi mesin kolektif yang serba bisa patut diapresiasi. Mereka kini bisa menekan dengan ganas, menguasai lini tengah, atau bersabar menunggu momen serangan balik—sesuai kebutuhan taktik. Jika konsistensi ini terjaga, bukan tidak mungkin PSG akhirnya bisa mewujudkan mimpi terbesarnya: trofi Liga Champions.
Taktik yang Sesuai dan Kekuatan Individu

Serangan Balik PSG: Senjata Mematikan yang Bervariasi
Mereka kini memiliki beragam opsi mematikan dalam serangan balik. Khvicha Kvaratskhelia, dengan gaya bermainnya yang terlihat santai namun penuh tipuan, bisa tiba-tiba berakselerasi dan menghancurkan pertahanan lawan. Sementara itu, Bradley Barcola dan Desire Doue menghadirkan dinamika berbeda dengan kemampuan eksploitasi ruang terbuka yang mengkhawatirkan. Meski keputusan akhir mereka terkadang masih perlu diasah, kecepatan dan visi keduanya tetap menjadi ancaman serius bagi pertahanan mana pun.
Yang menarik, Ousmane Dembélé menawarkan variasi taktik saat ditempatkan sebagai penyerang tengah. Tak sekadar mengandalkan kecepatan sayapnya, ia justru menunjukkan kemampuan baru dalam menerima bola di sela-sela lini pertahanan lawan. Fleksibilitas ini menambah kedalaman permainan PSG, membuat serangan balik mereka tidak hanya cepat, tetapi juga tak terduga.
Dengan berbagai profil penyerang yang saling melengkapi, PSG kini memiliki banyak cara untuk menghancurkan pertahanan lawan. Mulai dari aksi individu Kvaratskhelia, lari ruang Barcola-Doue, hingga kreativitas Dembélé di posisi sentral—semua ini membuat tim Luis Enrique semakin sulit diantisipasi. Inilah wajah baru PSG: tim kolektif yang tetap mempertahankan bakat individu sebagai senjata pamungkas.
PSG Juga Tanguh di Belakang
PSG membuktikan diri sebagai benteng yang sulit ditembus, bahkan ketika menghadapi tekanan dari tim sekelas Arsenal. Ketika The Gunners mengandalkan umpan silang dan lemparan jauh Thomas Partey di Parc des Princes, pertahanan PSG tetap kokoh berkat organisasi yang rapi dan ketanggahan Donnarumma di bawah mistar. Dua peluang berbahaya Arsenal di menit-menit awal berhasil digagalkan berkat reaksi cepat kiper Italia itu, didukung oleh kedisiplinan lini belakang yang selalu waspada.
Yang patut diperhatikan adalah bagaimana PSG tak hanya mengandalkan individu di sektor pertahanan. Marquinhos sebagai pemimpin pertahanan tampil cerdas dalam mengatur posisi, sementara pemain sayap seperti Hakimi dan Hernandez turun membantu membentuk blok pertahanan yang kompak. Kolaborasi antara bek tengah, gelandang bertahan, dan kiper ini menciptakan sinergi yang sulit ditembus lawan.
Transformasi PSG menjadi tim yang seimbang benar-benar terlihat dari ketangguhan defensif mereka. Jika dulu kritik sering dilayangkan karena ketergantungan pada bintang-bintang depan, kini PSG justru membangun kekuatan dari belakang. Dengan Donnarumma yang sedang dalam performa puncak dan lini belakang yang semakin matang, mereka memiliki pondasi kuat untuk bersaing di level tertinggi Eropa.
Jangan lewatkan Berita update lainnya hanya di Beritafifa.